Yang Ingin Mati — (;)
“Lalu, mengapa ingin mati lebih cepat?”
Tanyanya menatap pada seseorang yang duduk tepat di samping kirinya, yang di tanya hanya tersenyum. Senyum yang terlihat amat tulus.
“Bukankah semuanya akan mati?” tanya nya berbalik.
“Tetapi kenapa ingin lebih cepat?”
Anak belasan tahun itu menatapnya, masih dengan senyum yang terpampang jelas bahkan saat ini sedikit dari gigi seputih gading itu terlihat.
“Mengapa juga harus bertahan pada sakitnya, mengulur waktu dengan rasa sakit bukankah hanya menambah rasa sakit itu sendiri?”
Hening beberapa saat, lawan bicaranya sedang bekerja keras mencerna kalimat dari anak tersebut.
“Tidak kah satupun obat yang dapat mengobati rasa sakitmu?”
“Aku mempercayai bahwa setiap penyakit ada obatnya namun tidak semua obat dapat berjanji untuk menyembuhkan” Jelas anak itu.
Ada benarnya.
“Kalau begitu, kapan kau akan mengakhirinya?”
Anak itu menatap lurus ke arah jalan paving block yang mulai diterangi cahaya bohlam kuning diatasnya, matahari sudah terbenam sepenuhnya rupanya.
“Malam ini” Jawabnya tanpa keraguan
Hening lagi.
“Apakah ada hal yang belum sempat kau lakukan? Hal apapun itu yang belum selesai, mungkin? Sebelum kau benar-benar mati”
Anak itu menyatukan kesepuluh jemarinya, angin sore yang menerpa mereka rasanya semakin menyeruak.
“Ada, banyak”
“Maukah hal tersebut aku lakukan untuk mu?” Mendengar itu, ia kembali menatapnya dengan mata berbinar, “benarkah?”
“Namun bagaimana jika hal tersebut adalah sesuatu yang pernah aku lakukan sebelumnya? Melakukan sesuatu yang pernah ku lakukan sebelumnya bukankah terasa membosankan?”
Anak ini bergelut dengan pikirannya, tidak mengerti apa yang dikatakan seseorang yang mungkin hanya terpaut beberapa tahun lebih tua dari dirinya. Bukankah dia sendiri yang tadi menawarkan.
“Lakukanlah”
“Untuk mati?”
“Lakukanlah hal yang belum sempat kau lakukan sebelum kau benar-benar mati, lalu kau akan mati tanpa penyesalan — ” Memberi jeda sedikit untuk menegaskan kembali kalimat terakhirnya, “matilah tanpa meninggalkan penyesalan”.
Anak itu terdiam, kali ini kepala nya tertunduk entah apa yang sedang ia pikirkan.
“Namun bagaimana dengan rasa sakitnya?”
“Kau tadi mengatakan bahwa setiap penyakit ada obatnya, namun tidak semua obat berjanji untuk menyembuhkan, bukan?” Anak itu mengangguk, itu yang ia ucapkan tadi.
“Kau melupakan satu hal bahwa obat dapat meredakan rasa sakit meskipun itu hanya sesaat. Benar memang obat tidak pernah menjanjikan kesembuhan namun ia akan menemani mereka dalam menahan rasa sakitnya”
Anak itu lagi-lagi dibuat bingung.
“Banyak hal yang belum sempat kau lakukan dan selesaikan, jika kau mati malam ini maka kau akan meninggalkan semuanya begitu saja”. Jelasnya
Yang lebih tua berdiri sekaligus merenggangkan bagian pinggangnya karena terlalu lama terduduk ditambah waktu yang sudah hampir malam, lihatlah kesunyian di sekeliling mereka.
“Hiduplah sedikit lebih lama”
Kalimat terakhir yang orang itu ucapkan lalu membawa kakinya untuk meninggalkan anak itu sendiri disana, sendirian di sebuah kursi taman kota yang mulai menyepi.
Besoknya ia kembali ke taman kota tersebut tepat di waktu yang sama saat dirinya bertemu dengan anak itu kemarin, melangkahkan kakinya menuju kursi yang mereka duduki semalam. Namun belum sampai ke tujuannya, ia memberhentikan langkahnya lalu menatap sesuatu di kejauhan sana dari tempatnya berdiri sekarang.
Anak itu disana, terduduk dengan buku yang tengah ia baca — entah apa judulnya.
Anak itu hidup sedikit lebih lama.
— diskoria, d.