Did we make it?
“Did we make it?”
Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari bilah bibirnya, ia melihat ke arahku dengan tatapan berbinar. Tatapannya indah dan teduh, mata itu, aku selalu menyukainya.
“Yes, you did!”
Senyumnya yang sedari tadi mengembang perlahan memudar, alis nya menaik satu. Aku mengerti perubahan raut wajahnya, sangat mengerti, namun kali ini aku menaikan senyumku dan kutunjukan padanya.
Cuaca malam ini cukup dingin, belakangan hujan turun setiap sore hari dan membekas sejuknya. Sepertinya musim panas menujukan akhirnya dan hari-hari kelabu akan menjadi pemandangan baru mulai saat ini.
“Hey!”
Tegurnya mengembalikan kesadaranku, aku menoleh kearahnya, dahinya mengernyit seperti menuntut sebuah penjelasan. Aku terkekeh kecil dan mengalihkan pandanganku pada cahaya gedung dihadapanku.
“Did we make it?”. Aku mengulang pertanyaanya.
“Yes, you did, but only you”. Jawabku sendiri.
Kaki kanan ku tak henti bergerak, tanda kegelisahan, mungkin. Aku menaruh kedua tanganku di samping dan menyelipkan jari-jari dibawah kedua pahaku, kebiasaan yang sering aku lakukan dikala dingin dan gugup.
“You finally found yours and looks very happy with that”. Kataku.
Dia mengakuinya, kulihat ia mengangguk kecil.
“What about you?”.
Aku menyadari lampu-lampu setiap ruangan dari gedung yang sedari tadi menjadi objek pandangku kini mulai padam satu persatu, tanda semakin larut. Dan dia masih menunggu balasanku, syukur dia tidak terlalu bawel malam ini.
“Don’t mind me, you go first then i’m going to try”. Jawabku.
“Mencoba untuk?”. Tanyanya
Saat ini semua lampu setiap ruangan di gedung itu padam, namun masih menyisakan satu ruang di paling atas gedung tersebut. Entah ruang apa itu, tapi menjadikannya ruangan paling terang yang bisa kulihat.
“Rahasia”. Jawabku sambil tertawa, wajah kesalnya selalu bisa membuatku tertawa.
Mencoba untuk melepasmu, kamu sudah menemukan bahagiamu kan? Sekarang waktunya merelakan bahagiaku pergi. Sesuatu yang mungkin tidak pernah kamu sadari bahwa aku menaruh bahagiaku pada dirimu, bodohnya.
Jadi, selamat berbahagia.
You make it! You did it.
“But.. if us, we didn’t”. Gumamku pelan, sangat pelan.
“Apa? Aku tidak mendengarnya”. Keluhnya
Sambil tertawa kecil aku merapikan lalu menyelipkan kedua tanganku pada saku hoodie warna beige yang aku kenakan.
“Duluan”. Pamitku, meninggalkan dirinya yang masih terduduk.
Perjalanan menuju kendaraanku yang terparkir di ujung sana rasanya begitu jauh dan sialnya mengapa pertanyaan itu terus memutar dan bergema dikepalaku.
Did we make it?
“Aku mengerti, bahwa yang kamu maksud adalah apakah masing-masing dari kami berhasil melakukannya? Jelas jawabannya hanya kamu yang berhasil. Hanya kamu, aku tidak”
Salahku yang jatuh padamu. Bahkan sejak pertama perasaan itu datang, aku tahu bahwa kemungkinan tidak akan berpihak padaku dan tidak akan pernah terjadi.
Bahkan jika aku memilih untuk memaksa rasanya juga sangat tidak pantas. Aku pernah melihat bagaimana hancurnya dirimu di masa lalu dan hanya dia satu-satunya yang bisa membuatmu kembali utuh. Jadi, bagaimana bisa aku memaksa pada hal yang akhirnya membuatmu bisa sebahagia sekarang.
Toh, pada awalnya ini semua salahku, aku terjatuh pada jurang yang tiba-tiba terbentuk tanpa kusadari dan salahku yang mencoba masuk untuk melihat bagaimana dasar dari jurang gelap itu. Sehingga sekuat apapun penyangkalan yang aku lakukan setelahnya, nyatanya tidak merubah apapun, termasuk perasaan itu.
Dan mungkin pertanyaan itu seharusnya berubah menjadi “Did we both make it?” dan jawabanku, “Nope, i didn’t. Because that will never happen to me, to be yours”.
— diskoria, d.